Rabu, 26 Maret 2014
Sejarah awal terbentuknya nama pamarayan
Pada zaman dahulu tepatnya
pada tahun 1048 didaerah
Pamarayan dipimpin oleh seorang
raja yang bernama Raja
Wel Wina, sebelumnya di
daerah ini telah di bangun
jaringan-jaringan irigasi
kecil sederhana dan
Irigasi tertua adalah yang
di bangun oleh Sultan
Ageng Tirtayasa pada
sekitar abad ke 17 yang di
kenal sebagai kanal
sultan. Namun ketika
Belanda menjajah bagian
barat Indonesia tepatnya
didaerah Banten sampai ke
wilayah Pamarayan, awalnya
colonial Belanda hanya
ingin mengambil rempah-
rempah tetapi lama-
kelamaan orang Belanda
berinisiatif membuat
jembatan untuk pengairan
di lahan pertanian dan
untuk mempermudah mobilitas
mereka dalam mengambil
rempah-rempah didaerah
tersebut. Jembatan
tersebut dibangun tahun
1901 faktanya tertulis
pada Almanak yang tertera
pada salah satu pintu air.
Jembatan ini biasa disebut
dengan nama Jembatan Putih
atau Bendung Pamarayan
Lama.
Bendung Pamarayan Lama
mempunyai beberapa bagian
bangunan antara lain
saluran irigasi sepanjang
ratusan meter yang
dilengkapi dengan 10 pintu
air berukuran raksasa.
Diameter setiap pintu
hampir 10 meter lebih yang
merupakan bangunan utama.
Selain itu Bendung
Pamarayan Lama juga
memiliki dua menara yang
terletak di sisi kanan dan
kiri bendungan.
Untuk menggerakkan setiap
pintu air yang dibuat dari
baja tersebut, pemerintah
Belanda menggunakan rantai
mirip rantai motor yang
berukuran besar. Sepuluh
rantai dikaitkan pada roda
gigi elektrik yang
terletak di bagian atas
bendungan. Roda-roda gigi
yang berfungsi untuk
menggerakkan pintu air
berjumlah puluhan di dalam
30 bok tipe 1,2 dan 3
(berukuran sedang) dan
roda gigi tipe 4 dan 5
(berukuran besar).
Setidaknya ada 20 as kopel
berdiameter sekitar 7
centimeter dan panjang 1,5
meter sebagai penghubung
roda gigi di setiap pintu
air.
Pada saat itu yang
mengerjakan jembatan
tersebut adalah orang-
orang pribumi dan para
pekerja dari daerah jawa
yang dipekerjakan oleh
orang belanda. Proyek
bendungan ini selesai
dikerjakan pada tahun 1914
dan air mulai disalurkan
pada tahun 1918, disamping
bendungan ini terdapat
bangunan yang di gunakan
oleh kolonial belanda
untuk MEMBAYAR upah para
pekerja atau biasa di
sebut dengan tempat ”
PAMAYARAN ” dalam bahasa
Sunda karena bendungan
ini di bangun di daerah
yang kebanyakan penduduknya
menggunakan bahasa sunda,
Warga pribumi hanya
dibayar atau mendapat
imbalan atas pekerjaannya
hanya dengan dibayar
dengan uang logam Wel Wina
dengan cara pakai takeran
tidak diperhitungkan dengan
rinci, entah takeran uang
ataupun takeran jagung.
Pokoknya ukuran hanya 1
(satu) takeran dan ada kejadian aneh yang tidak masuk akal dimana warga tidak bisa mengambil upah yang lebih dari 1 takeran karna percuma meskipun mereka mengambil upah 2-3 takeran namun setelah sampai di rumah hanya tetap 1 takeran saja begitulah orang jaman dulu penuh misteri. Mulai
pada saat itu munculah
keributan antara warga
pribumi yang meributkan
imbalan yang diberikan
oleh Belanda. Semakin lama
semakin berlanjut keributan
tersebut, dan pada
akhirnya daerah tersebut
menjadi sebutan PAMAYARAN
para pekerja jembatan pada
masa penjajahan colonial
Belanda. .Dengan semangat
juang dan kesatuan dari
warga Indonesia akhirnya
Bangsa Indonesia berhasil
merebut KE-MERDEKAAN¬-NYA
dari tangan penjajahan
Belanda.
Kini dengan perbendaharaan
kata yang semakin banyak
dan bahasa yang semakin
berkembang sebutan
PAMAYARAN berubah menjadi
PAMARAYAN yang kini
menjadi nama sebuah
kecamatan di Kabupaten
Serang Provinsi BANTEN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar